MASYARAKAT INDONESIA
Upaya membedah agama perspektif
tradisional ektrem
dan antisipasi konflik bermutif
agama
Oleh : Amin*
Abstrak :
Agama dalam eksistensi pemahaman tradisonalis masyarakat
indoensia merupakan kontsuksi pemahaman agama pada umumnya. Namun dalam hal ini
titik tolak dari pemahaman agama masyarakat Indoensia yang masi sangat
tradisional dalam menafsirkan agama, maka tidak bisa di lepaskan begitu saja
dengan arus perkembangan modernitas yang terus berkembang. Melihat agama secara
tektual itulah cirri kas dari masyarakat indoensia, kenapa tidak, karna masih
banyaknya pemahaman agama secara tradisional membuat para masyarakat cendrung
berfikir fundamental dan radikal yang banyak menimbulkan perselisihan anatar
sesama umat manusia tak terkecuali umat non islam di Indonesia juga menjadi
sasaran dari arus modernitas agama yang juga berpotensi menimbulkan pemahaman
agama secara tektual dalam aplikasinya seharai-hari dengan demikian penulis
berusaha menelusuri pemahana agama secara trasional dalam masyarakat Indonesia
dalam berbagai pespektif seperti sosio cultural, ekonomi dan politik sebagai
bahan dasar dalam penulisan ini.
Kata Kunci : Agama, dan Pemahaman
Tradisional Masyarak Indoensia
*Penulis
adalah Mahasiswa IAIN Suan Ampel Surabaya Prodi Sosiologi
1.
Pendahuluan
Rasanya tidak terlalu berlebihan
bila para pengungsi yang menjadi korban berbagai konflik pada beberapa
tahun ini yang seakan mereka menjadi tamu pada negaranya sendiri.
Berbagai konflik agama, seakan
menadji warna kegundahan masyarakat yang menadi sasarannya. Negara ini memang sudah merdeka, tetapi para
pengungsi tidak ubahnya seperti dalam suasana perang: di usir dari tempat tumpah
darahnya sendiri, kemudian berkelana ke tempat lain yangtidak di kenal. Para
penggunsi itu meninggalkan kampung halamannya sendiri sambil memutuskan tali
hubungan psikologis dengan nenek moyang mereka.
Para pengungsi tidak lagi
menziarahi para orang tua, sanak family, dan leluhur mereka, karena telah di
sekta oleh suku, agama, ras, dan antargolongan. Para
pengungsi bersimbah air mata menyaksikan hasil jerih payahnya di bumi hanguskan
oleh saudara mereka sendiri-sesama anak bangsa serta di paksa berpisah dengan
sanak saudara dan para tetangga yang bisa di ajak bercengkrama dan bersenda
gurau. Secara tertulis mereka adalah warga resmi yang memiliki hak yang sama
dengan yang lainnya. Tetapi,secara social politik, social ekonomi, dan social
budaya, hamper tidak ada satupun hak warag Negara yang masih melekat pada diri
mereka . hak-hak itu seolah terbawa serta oleh kepergian mereka dari kampung
halaman kebanggaan mereka sendiri.[1]
Ketika konflik bermunculan atas kasus agama
maka bagi kita menjadi masalah yang konplek. Banyak-nya kasus yang bermutif agama
nampaknya akan selalu bergulir selagi zaman akan selalu menuntut perkembangan
kearah yang semangkin modern. Telorensi (tasamuh) antar sesama bukan lagi
menjadi sifat dari karakter manusia beragama pada saat ini.
Berfikir yang terlalu tradional
dan sangat fundamental terhadap tafsiran keagamaan akan semangkin membuat
fanatisme agama yang sangat berlebihan. Salah pemahaman masyarakat dalam
implementasi agama dalam perspektif sosio cultural adalah seperti yang kita
lihat dalam kasus-kasus yang telah berkembang selam ini. Salah satunya adalah
kasus pembantaian satu kelompok terhadap ahmadiyah yang terjadi pada tahun 2011
kemaren. Di lanjutkan dengan kasus pembakaran pondok pesantren dan mushalla di kecamatan
omben sampang Madura yang di claim oleh sebagaian kelompok Sunni mereka
beraliran syiah. Hal ini di sebabkan karena norma-norma yang tradisional
sudah mendara daging dan menjiwai (sudag internalized) sehingga sukar
sekali untuk mengubah norma-norma yang sudah demikian meresapnya dalam jiwa generasai tersebut.
Suatu masyarakat yang terkena
proses akulturasi selalu ada kelompok individu yang sukar sekali atau bahkan
tak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat di anggap oleh golongan tersebut sebagai
situasi kritis. Seperti terjadi konflik agama dan ras budaya yang masing-masing
menjustifikasi sesame sehingga hal ini bisa membahayakan ke utuhan masyarakat[2].
Baik dalam agama maupun dalam kelompok atau ormasi lainnya.
Peradaban islam di indoensia yang
semangkin terpuruk saat ini akan
semangkin melukai hati bangsa sebagai negara yang sangat beragam. Di samping
itu juga paradigam tradisional masyarakat Indonesia yang berhaulan agama islam
akan semangkin mncedrai nilai-nilai islam yang sangat mengahargai perebedaan
itu.
Islam yang di wahyukan oleh tuhan
kepada Muhammad SAW. Telah membawa bangsa arab yang semula terbelakang, bodoh,
tidak terkenal, dan di abaikan oleh bangsa-bangsa lain. Menjadi bangsa yang
maju. Ia dengan cepat bergerak mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan,
dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga saat
sekrang. Bahkan, pada mulanya bersumber pada islam.[3]
Landasan “tradisinal of relegion”
adalah sebuah kebudayaan yang di bangun (construc) atas dasar sejarah yang lahir
dari tradisi hegemoni agama nenek moyang yang belum kenal dengan modernisasi
agama.
Peranan agama menjadi sangat
penting ketika agama di anut oleh sekelompok manusia yang terkait dengan
kegiatan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dalam kondisi semacam itulah agama telah
menjadi social budaya bahkan pula menjadi tradisi manusia, sehingga agama dan
masyarakat mempunyai hubungan timbal balik. Dengan demikian maka etos yang
menadi pedoman dalam pranata telah di pengaruhi dan di arahkan oleh nilai agama
itu.
Persentuhan ini bukan saja dapat
melahirkan sebagai corak keberagaman dalam berbagai sekte dan pengalaman agama
tetapi juga berdimensi kepentingan social, budaya, politik, ekonomi dan
sebagainya, sehingga agama menjelma kedalam bentuk Values yang terkait dengan struktur kelas social status yang memberi
makna dalam kehidupan social budaya.[4]
Eksistensi dari agama tradisional
(tradisionalsm of religion) sampai sekarang terus berkembang, hingga pemahaman
yang semangkin fundamen sangat berpetensi menimbulkan konflik antar sesame umat
khusnya umat islam di indonesia. Dengan
demikian apabila agama telah di aktualisasikan dalam kehidupan masyarakat,
sehingga agama kemudian terintegrasi kedalam sistem nilai sosial budaya yang
kemudian bersentuhan melalui proses sosial dengan elemen-elemennya maka berarti
telah bersentuhan dengan realitas
kehidupan masyarakat yang bersifat fisik, sosial, budaya ekonomi politik
maupun kebudayaan integratif yang bersifat fundamental, seperti bersentuhan
dengan kebutuhan moral beradab dan bersatu[5]
Sekilas tentang eksistensi agama dalam pemahaman
tradisional
Tradisionalisme agama sebagai kearifan
lokal
Mengidentikkan Islam dengan
tradisi lokal sudah dilakukan sejak dahulu kala. Kaum orientalis jaman dahulu
tidak terbiasa membedakan antara Islam dan Arab, sehingga Islam disebut dengan
istilah-istilah lain yang sebenarnya mengacu pada bangsa atau wilayah, misalnya
“Saracens” atau “Turks”. Jadi,
menurut mereka, Islam adalah agamanya bangsa Arab. Lambat laun, mereka pun
menyadari bahwa definisi ini tak dapat dipertahankan, karena muallaf terus bermunculan dari seluruh
penjuru dunia. Maka mereka ajarkanlah kepada murid-muridnya (kaum sekularis-pluralis-liberalis)
bahwa Islam memang bukan agama bangsa Arab, namun dalam ajaran agama Islam yang
telah kita kenali ini terdapat begitu banyak aturan-aturan yang diadaptasi dari
tradisi-tradisi Arab. Dengan kata lain, Islam tidak identik dengan Arab, namun
Islam bisa (dan telah) terinfiltrasi oleh corak budaya Arab. Muncullah gagasan
berikutnya. Kalau Islam bisa ‘diwarnai’ dengan budaya Arab, mengapa kita tidak
ikut ‘mewarnai’ Islam dengan budaya Indonesia?
perselingkuhan’ semacam ini
tetaplah problematis. Sebab, kaum sekularis mengkritik sebagian ajaran Islam
karena dianggapnya tidak rasional, namun sebaliknya mereka justru tiarap ketika
menghadapi tradisi-tradisi lokal yang lebih tidak rasional lagi. Sebagian di
antara mereka mengatakan bahwa dzikir, apalagi
berjamaah, adalah ‘pelarian’ bagi orang-orang yang tak mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan hidupnya dengan akal sehat. Tapi atas nama ‘kearifan
lokal’, mereka anggap masuk akal saja tradisi berendam ramai-ramai di sungai
untuk membersihkan diri dari segala sifat buruk atau dalam rangka menyambut
bulan suci Ramadhan. Ada juga yang bilang bahwa merujuk pada syariat Islam itu identik dengan melarikan diri
karena tak mampu lagi menggunakan kekuatan akalnya untuk memecahkan
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Tapi terhadap tradisi memohon-mohon di
depan kubur, upacara memandikan keris atau berebut kue dan makanan dari keraton
sebagai simbolisme ‘rebutan berkah’, mereka diam saja. Semata-mata karena
sebagian masyarakat Indonesia memang terlanjur cocok dengan tradisionalisme.
Demi tradisi lokal, agama pun
dibikin ‘lokal’, dan dilarang menjadi universal. Memang tepat kiranya jika
fenomena ini kita sebut dengan istilah ‘lokalisasi agama’, karena lokalisasi
memang identik dengan pelacuran, dan tawar-menawar dengan ‘aqidah tidak lain adalah pelacuran, aqidah itu sendiri.[6]
Dalam kaitan ini kita bisa berkaca
pada sejarah panjang Islam di Indonesia, yaitu pertemuan antara "teologi
Islam Arab" dengan "teologi lokal nusantara" yang memungkinkan
terjadi dialektika secara terbuka, sehingga Islam benar-benar menjadi agama
sejarah yang dihayati, dipikirkan, dan dipraktikkan masyarakat. Atas dasar itu,
klaim bahwa Islam di Jawa misalnya, kurang asli dan kurang otentik dibanding
Islam di Timur Tengah, menjadi tidak relevan.[7]
Kaum tradisional agama sebagai basis
dalam bertindak adalah agama yang sangat samawi (wahyu) Munir
Mulkhan, dalam bunya yang mengatakan Kelompok
tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yangmasih
mempraktekkan beberapa praktek tahayyul,
bid'ah, khurafat, dan beberapa budaya animisme, atau sering
diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, sementarakelompok modernis adalah
mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa haldi atas. Akan tetapi
kategorisasi ini menjadi kurang tepat ketika ditemukan adanya praktek
budaya animisme yang dilakukan oleh kalangan muslim modernis, seperti
yang pernah diungkap oleh Munir Mulkhan dalam penelitiannya tentang Islam
Murni dalamMasyarakat Petani. Di dalam penelitiannya ia menemukan adanya empat
varianmasyarakat Muhammadiyah; yaitu Islam murni (kelompok al-Ikhlas), Islam
murni yang toleran terhadap praktek TBC (kelompok Kyai Dahlan), Islam
neo-tradisionalis (kelompok MUNU, Muhammadiyah-NU), dan Islam neosinkretis
(kelompok MUNAS,Muhammadiyah-Nasionalis) Mereka adalah kelompok yang
membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-Ghazali dan ulama’
fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan Islam[8] tradisional
berarti kecenderungan untuk melakukan sesuatuyang
telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau
sebagai otoritasdari segala bentuk yang telah mapan[9]
Tradisonalime agama sebagai fitur
redikal dan seni berfikir
Kesenian wujud, berkembang dan diturun temurunkan dalam atau
melalui tradisi-tradisi sosial atau masyarakat. Kesenian adalah milik
masyarakat, dilihat sebagai cara hidup yang bertalian dengan keindahan dari
para ahli masyarakat.[10] Bukan hanya seni yang kita lihat dalam
keseharaian, namun dalam agama pun terdapat seni yang menjung tinggi
nilai-nilai agama seperti seni dan budaya islam pada Negara-negara arb dan
timur tengah pada umumnya.
Melihat agama islam di indonesia
sebagai agama produksi dalam sejarah nenek moyang yang di bawa oleh pendatang,
sejauh itu pula Achamad Jainuri, memandang
kaum tradisionalis adalah mereka yang pada
umumnya diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur
tradisional yang tidak tertarik dengan perubahan dalam pemikiran
serta praktik Islam[11] Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi.Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.[12] Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme adalah bentuk pemikiran atau
keyakinan yang berpegang pada ikatan masa lampau dan sudahdiperaktekkan oleh komunitas Agama.
Seiring dengan semankin realistisnya budaya agama di
indoensia maka ada beberapa fitur ideologisasi radikal masyarakat islam
inonesia. Meurut Davis Erik dalam bukunya “Ideologi Sosial Class, And Islmic
Radicalism In Modern Egypt” Yaitu
salah satu fitur terpenting dari ideology islmisasi radikal adalah karakter
totalitarian atau holistic, sebagai antithesis dari ideology barat sekuler.
Ideology islmisme redikal lebih menekankan visi kesatuan islam sebagai doktrin sekaligus praktik social.
Islam menurut para ideology radikal, meliputi seluruh aspek kehidupan yang
mencakup bukan saja persoalan akhirat tetapi juga persoalan duniawi. Doktrin
ini sejalan dengan konsep islam sebagai 3 D sebagaimana di usulkan oleh mayoritas
ideology radikal (Din/Agama, Dunya/Dunia, dan Daulah/Negara).
Dia tidak hanya terdiri dari unsure-unsur ibdah-ritual semata, tetapi juga
sebuah pandangan hidup total yang memberikan petunjuk di seluruh aspek
kehidupan seperti politik, ekonomi, dan social budaya.
Fitur selanjutnya adalah pemahaman keagamaan yang
literal. Makna literal disini ialah kecendrungan kelompok redikal untuk menyuarakan apapun secara apa adanya
tanpa ipaya pemahaman yang memadai terhadap kontek. Interpretasi tidak di
perlukan sepanjang tex suci menegaskan secara ekspilsit apapun yang di
perintahkan. Tingkat kesalihan di tentukan salah satunya oleh sejauhmana
seseorang menganut secara total-literal terhadap ketentuan yang sudah di
ajarkan oleh islam dalam seluruh aspek kehidupan. Di lain pihak, mereka cndrung
menhindari apapun yang di anggap tidak termaktub di dalam kitab suci agama,
Al-Qur’an dan Hadist.
Fitur ketiga dari ideology islmiesme radikal ialah tafsir
keagamaan yang cendrung simbolik. Farme
mengatakan dalam tafsir semacam ini, aspek yang lebih mengemuka adalah mindset
berfikri yang dipenuhi dengan permainan symbol ketimbang esensi persoalan .
symbol menjadi varian determinan dalam keberagaman kaum radikal. Hal ini
berimbas pada cara pandang atau berfikir kelompok radikal atas segala aspek
kehidupan segala sesuatu harus di
kaitkan dengan symbol. Cara berfiikir simbolik ini berimplikasi pada munculnya
kecendrungan berfikir simplikastif dan reduksionestik dalam bahas sehari-hari
di sebut “serampangan” atau hantam kromo” . Hal ini merupakan akibat dari
minimnya cara berfikir kritis dalam merespon apapun yang mereka lihat dan baca[13]
Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang
konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran
ulama’-ulama’ terdahulu yang masih menganut teologi tradisional. Adapun aliran
yang tergolong aliran teologi tradisional adalah Asy’ariyah dan
Maturidiyah bukhhara. Yang kurang memberikan peran yang kuat pada usaha
manusia.[14] dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang
dan mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.[15]
Sementara itu, aliran teologi tradisional akan menyatakan
bahwa penyebab perubahan masyarakat (sosial) adalah kehendak tuhan (jabari).
Terhadap msalah ini tampaknya M. Quraisyi Shihab mencoba memberikan jalan
keluar walau pada ujungnya tetap lebih cendrung pada aliran teologi yang lebih
rasional. Ia menjelaskan bahwa ayat Inna Allaha la yughayyiru ma bi
qaumin hatta yughayyiru na bi an fusihim (sesungguhnya Allah
tidak mengubah keadaan suatu kaum/ masyarakat sampai mereka mengubah terlebih
dahulu apa yang ada pada diri mereka;) sikap mental mereka mengandung
pengertian tentang adanya dua macam perubahan dengan dua pelaku[16]
Tradisionalisme sebagai antisipasi modernisasi
Khsus bagi negara berkembang seperti
Indonesia, pada masa depan ini akan mempunyai tiga ciri utama. Pertama, masyarakat
indonesia berubah dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Kedua
, globalisasi informasi, dan ketiga, semnagkin tingginya tingkat
intelektualitas terutama di kalangan kaum muda. Kondisi yang akan di alami
indonesia tersbut bukanya tidak ada tantangan yang akan di hadapi, khusunya
bagi para agamawan. Setidaknya tantangan akan di hadapi semacam itu di
perkirakan antara lain sebagai berikut
Pertam,a
masyarakat akan jauh dari agama, seperti halnya
masyarakat barat yang maju dan modern, masyarakat agraris menjadi masyarakat
industri akan jauh dari agama. Hal ini
di dasarkan atas kenyataan bahwa masyarakat agraris mas sangat mengantungkan
kehidupannya kepada alam. Faktor-faktor yang di luar kemampuan mereka untuk
mengatasinya seperti kemarau panjang, banjir besar, secara psikologis membuat
masyarakat agraris cendrung taat kepada agama. Mereka selalu mendekatkan diri
pada tuhan dengan berharap di selamatkan dari berbagai bencana. Sebaliknya
masyarakat industri akan tidak trlalu bergantung kepad alam. Mereka lebih
otonom dalam mengatasi perekonomian yang di perlukan dalam memenuhi
kebutuhannya.
Kedua, masyarakat lebih cendrung berprilaku tidak sopan. Kecendrungan
ini muncul antara lain di akibatkan oleh derasnya globalisasi informasi.
Semangkin canggih sarana informasi berupa media cetak dan elektronik, di
mungkinkan budaya lain yang negatif sukar di adakan sensor dan sebaliknya akan
mudah di baca dan di lihat di tempat tinggal masing-masing penduduk. Berita
ataupun hiburan yang berisi semacam kejahatan atau prilaku menyimpang lain yang
di perdengarkan ditulis atau di gambar (gerak atau diam) media tersebut akan
banyak di nikmati.
Ketiga, masyarakat
tidak mudah menerima pendapat orang lain, guru agama sekalipun, kalu suatu
pendapat tidak di berikan argumentasi yang rasional yang dapat di terima oleh
pihaknya hal semacam ini di antara lain di akibatkan oleh semangkin luasnya
ilmu pengetahuan dan teknologi.[17]
Jiak agama tradisional sebagai antisipasi terhadap arus
modernitas maka tidak bisa di mungkinkan akan terjadi yang namanya agama
ektrem. Dalam hal ini tolerasni antar sesama nampaknya tidaka akan jelas jenis
kelaminnya jika hanya para kaum trasionalis tetap dalam pendiriannya. Masalah
akan lebih sensitif bagi siapun yang menganut agama. Masalah ini ialah orang
yang selalu menganggap dirinya benar, bahwa orang yang bertentangan dengan
dirinya adalah salah dan masalah ini akan mengarah ke fanatisme dan extremisme.
Umat islam menyakini bahwa perbedaan agama itu ada berkat
kehendak dan ke arifan tuhan seperti dalam firmanya surat Huud ayat 118-119
Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat, (Huud ayat 118)
Artinya: Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu
(keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka
Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (Huud Ayat
119)
[1] Said Agil
Husin Al-Munawar, Hukum Islam & Pluralitas Social, Penamadani,
Jakarta 2004, Hal.223-225
[2] Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
2007, Hal.169
[3] Yatim Badri, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiya II, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2010, Hal..2
[4] Randall
Collins, Sociological Insight, New York: Oxford University, 1986, Hal. 7
[5] Ishomuddin, Sosiologi
Perspektif Islam, Malang, UMM, Press, 1997, Hal. 208 Liahat juga di Jurnal
Ilmu Dakwa Vol.11, No. 1 April 2005, yang di terbitkan oleh Fakultas Dakwa
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Hal 31
[6]
http://www.fimadani.com/lokalisasi/11/1/2012
[7] http://klikagama.blogspot.com/2007/05/islam-liberal-plus-post-tradisionalisme.html/11/1/2012
[8] Munir Mulkhan, Islam Murni dalam
Masyarakat Petani(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000) Hal.2
[10] Marzita
Puteh,dkk. Jurnal Peradaban Melayu, Jilid 5, Tahun 2007
[12] Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged(Massachusetts,
USA: G&C, 1966), hal. 2422.
[13] Liahat Deradikalisasi
Paham Keagamaan di Indonesia Perspektif Ideilogis yang di samapaikan oleh Masdar
Hilmy, dalam acara Talk Show “Penyuluhan Keislaman dalam Mengantisipasi
Ideology Terorisme” yang di selenggarakan oleh Gerakan Pemuda Indonesia (GEPI)
Jatim di Gedung SAC IAIN Sunan Ampel Surabaya Tanggal 11 Januari 2012
[14] Zulfi Mubarok,
Sosiologi Agama,UIN, Malang Press, 2006, Hal 11
[16] Ibid,
Hal. 11
[17] Zulfi Mubarok,
Sosiologi Agama,UIN, Malang Press, 2006, Hal,13-15. Lihat juga di Munawir
sjadzali, “Agama dan PJPT II”, Pelita, 10 dan 11 November 1993. Dipo Alam, Interelasi
Ipteg dan Agama dalam Pendidikan: Sudut Pandang dan Kecendrungan Iptek dan
Islam Masa Kini, Bahan Seminar Sehari “Interelasi Iptek dan Agama”. IKIP
Muhammadiyah Jakarta (kini UHAMKA), Jakarta, 8 Mei 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar