Kamis, 26 Januari 2012

KAPASITAS HUKUM AGRARIA DI INDONESIA


KAPASITAS HUKUM AGRARIA
Indonesia sebagai negara agraris terbesar yang sudah di akui oleh berbagai negara tidak bisa lepas dari hukum tentang agrarian, hokum tetap hokum, namun hokum di Indonesia menjadi kekuatan sebelah pihak bagi orang yang mampu untuk menghukumi yang lainnya.
Banyaknya kasus agrarian budak di sebabkan dari satu aspek hokum saja, kadang pemerintah menyalahkan rakyat, kadang pula rakyat menyalahkan pemerintah, namun entahlah yang benar  seperti apa yang jelas hakikat dari arti  agraria adalah hak kepemilikan seperti yang tertera dalam pasal 33 UUD 45 ayat 3, bahwasannya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. dengan demikian maka dalam undang-undang tersebut semua orang di larang adanya penguasaan sumber daya alam secara monopoli, namun yuridis yang empiris saat ini hokum agrarian di pegang oleh penguasa dan pengusaha yang banyak memakan hak rakyat itu, praktek dari hokum agrarian ini tidak bisa di implementasikan oleh Negara, namun hanya bisa di pegang oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan pribadi artinya undang-undang tersebut sudah sangat bertentang an dengan prakteknya saat ini.
Anne Ahira mengatakan hukum di Indonesia dewasa ini sering di permasalahkan pleh masyarakat. Banyak ketidak puasan dari masyarakat yang di akibatkan oleh banyaknya pemyimpangan dari aparat hukum itu sendiri, dirasa tidak adil selalu masyarakat sipil yang di hukum, bahkan para koruptor di hukum dengan mendapat kelas ekslusif yang tidak jauh dari kamar hotel.
Semangkin menguatnya kasus-kasus tentang agrarian di berbagai daerah baik di Sumatra ataupun di daerah lain seperti lampung dan Kalimantan, nampaknya belum terurus secara total dri pemerintah, kasus-kasus yang menyangkut tentang tanah rakyat dan tanah pengusaha yang banyak menimbulkan konflik antar sesama anak bangsa akan terus terjadi bilamana hal itu tidak di tangani secara serius dari pemerintah baik pusat atau daerah. Konflik agrarian yang terjadi akhir-akhir ini seakan membuat pemerintah bisu untuk mengurusnya. Nyatanya memang begitu karna sampai saat ini masih banyak masyarakat yang beberapa bulan yang lalu di tahun 2011 masyarakat yang di usir olh pihak perusahaan sekrang masih bisa berteduh di tempat yang sangat minim, mereka hanya mendrikan tenda-tenda kecil untuk tidur dan istirahatnya. Kemaren 27/1. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)  mengesahkan tentang pembentukan  Panitia Khusus (Pansus) terhadap konflik agrarian di daerah lampung. Pembentukan peniatian ini di harapkan bukan hanya sekedar cari muka bagi masyarakat, melainkan di harapkan bisa dan mampu mengatasi dan menyelsaikan konflik agrarian yang terjadai saat ini yang belum jelas arahnya dan jalan penyelesaiannya. Irman menambahkan kasus konflik antarwarga dan perusahaan sawit di Mesuji yang terjadi belum lama ini akan menjadi fokus utama pansus DPD yang baru dibentuk itu (lihat: Metrotvnews.com, Lampung,27/1/2012)
Pembentukan panitia khusus (pansus) untuk masalah agraria yang hal ini menyangkut tentang hak kehidupan ekonomi, sosial masyarakat sipil di berbagai daerah di Indonesia saat ini masih dilanda negan maslah tanahnya yang di di beritakan tidak punya akte tanah, sehingga oleh pemerintah di klaim tanha tersebut milik Negara. Namun anehnya ketika Negara dan pemerintah mengaklaim tanah tersebut milik Negara yang pemiliknya di usir dan di campakkan, tak lama kemudian berdiri-gedung-gedung mewah, mall-mal, dan perusahaan milik pribadi dari orang-orang yang punya modal. Artinya hukum belum sepernuhnya memihak kepada rakyat karena hukumnya tidak memenuhi kapasitas rakyat yang notabenya memakai hukum adat atau hulayat.
Beberapa  waktu lalu ada wacana mengejutkan bahwa beberapa para politikus banyak menguasai lahan perkebunan dan perusahan seperti yang di kutip di Metrotvnews.com, Bengkulu: bahwa, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu menyatakan, konglomerat dan petinggi partai politik mengusai tanah di Bengkulu. Mereka mengangkangi lahan hampir seluas setengah juta hektare. Catatan Walhi, ada 121 pengusaha dan petinggi parpol yang menguasai tanah di Bengkulu. Mereka punya lebih dari 100 perusahaan pertambangan dan perkebunan. 
Hal itu akan mengambarkan semangkin berpotensinya konflik agrarian di daerah yang mayoritas masyarakatnya miskin yang penghidupannya hanya bercocok tanam di sawah. Ini membuktikan bahwa pemerintah atau penguasa yang berkoalisi dengan pengusaha yang tujuannya tidak lain adalah untuk merebut hak tanah rakyat dari tangan petani dan pemilik tanah secara cultural nenek moyang. Namun yang patut di sayangkan kasus ini belum ada renovasi secara kongkrit dari pemerintah untuk menindak lanjuti konglomerat yang punya banyak tanah itu, jika hal ini di biarkan dan tidak di ricek maka aka nada ketidak seimbangan antara masyarakat sipil dengan pihak yang menguasai tanah, maka di mungkinkan hal ini akan menimbulkan konflik yang parah lagi jika penguasa dan pengusaha terus menindas masyarakat. 
Jadi kapasitas semua hukum di Indonesia masih jauh dari harapan bangsa yang menigingkan penegakan hukum secara rasiobal tnap memandang siapa dan dari kalangan mana tanpa memandang sebelah pihak. Terutama dalam kasus-kasus besar seperti agrarian, yang menyangkut hak hidup masyarakat desa khusunya yang ada di Negara ini, yang sering menimbulkan perpecahan dan pertumpahan darah sesama rakyat Indonesia
Oleh: Amin
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi
IAIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sample text

Social Icons

Powered By Blogger

Ads 468x60px

Social Icons

Featured Posts