KAPASITAS HUKUM AGRARIA
Indonesia sebagai negara agraris terbesar yang sudah di akui oleh
berbagai negara tidak bisa lepas dari hukum tentang agrarian, hokum tetap
hokum, namun hokum di Indonesia menjadi kekuatan sebelah pihak bagi orang yang
mampu untuk menghukumi yang lainnya.
Banyaknya kasus agrarian budak di sebabkan dari satu aspek hokum saja, kadang pemerintah menyalahkan rakyat, kadang pula rakyat menyalahkan pemerintah, namun entahlah yang benar seperti apa yang jelas hakikat dari arti agraria adalah hak kepemilikan seperti yang tertera dalam pasal 33 UUD 45 ayat 3, bahwasannya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. dengan demikian maka dalam undang-undang tersebut semua orang di larang adanya penguasaan sumber daya alam secara monopoli, namun yuridis yang empiris saat ini hokum agrarian di pegang oleh penguasa dan pengusaha yang banyak memakan hak rakyat itu, praktek dari hokum agrarian ini tidak bisa di implementasikan oleh Negara, namun hanya bisa di pegang oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan pribadi artinya undang-undang tersebut sudah sangat bertentang an dengan prakteknya saat ini.
Banyaknya kasus agrarian budak di sebabkan dari satu aspek hokum saja, kadang pemerintah menyalahkan rakyat, kadang pula rakyat menyalahkan pemerintah, namun entahlah yang benar seperti apa yang jelas hakikat dari arti agraria adalah hak kepemilikan seperti yang tertera dalam pasal 33 UUD 45 ayat 3, bahwasannya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. dengan demikian maka dalam undang-undang tersebut semua orang di larang adanya penguasaan sumber daya alam secara monopoli, namun yuridis yang empiris saat ini hokum agrarian di pegang oleh penguasa dan pengusaha yang banyak memakan hak rakyat itu, praktek dari hokum agrarian ini tidak bisa di implementasikan oleh Negara, namun hanya bisa di pegang oleh sekelompok orang yang mempunyai kepentingan pribadi artinya undang-undang tersebut sudah sangat bertentang an dengan prakteknya saat ini.
Anne Ahira mengatakan hukum di Indonesia dewasa ini sering di
permasalahkan pleh masyarakat. Banyak ketidak puasan dari masyarakat yang di
akibatkan oleh banyaknya pemyimpangan dari aparat hukum itu sendiri, dirasa
tidak adil selalu masyarakat sipil yang di hukum, bahkan para koruptor di hukum
dengan mendapat kelas ekslusif yang tidak jauh dari kamar hotel.
Semangkin menguatnya kasus-kasus tentang agrarian di berbagai
daerah baik di Sumatra ataupun di daerah lain seperti lampung dan Kalimantan,
nampaknya belum terurus secara total dri pemerintah, kasus-kasus yang
menyangkut tentang tanah rakyat dan tanah pengusaha yang banyak menimbulkan
konflik antar sesama anak bangsa akan terus terjadi bilamana hal itu tidak di
tangani secara serius dari pemerintah baik pusat atau daerah. Konflik agrarian
yang terjadi akhir-akhir ini seakan membuat pemerintah bisu untuk mengurusnya.
Nyatanya memang begitu karna sampai saat ini masih banyak masyarakat yang
beberapa bulan yang lalu di tahun 2011 masyarakat yang di usir olh pihak
perusahaan sekrang masih bisa berteduh di tempat yang sangat minim, mereka
hanya mendrikan tenda-tenda kecil untuk tidur dan istirahatnya. Kemaren 27/1. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengesahkan tentang pembentukan Panitia Khusus (Pansus) terhadap konflik
agrarian di daerah lampung. Pembentukan peniatian ini di harapkan bukan hanya
sekedar cari muka bagi masyarakat, melainkan di harapkan bisa dan mampu
mengatasi dan menyelsaikan konflik agrarian yang terjadai saat ini yang belum
jelas arahnya dan jalan penyelesaiannya. Irman menambahkan kasus konflik antarwarga
dan perusahaan sawit di Mesuji yang terjadi belum lama ini akan menjadi fokus
utama pansus DPD yang baru dibentuk itu (lihat: Metrotvnews.com,
Lampung,27/1/2012)
Pembentukan panitia khusus (pansus) untuk masalah
agraria yang hal ini menyangkut tentang hak kehidupan ekonomi, sosial
masyarakat sipil di berbagai daerah di Indonesia saat ini masih dilanda negan
maslah tanahnya yang di di beritakan tidak punya akte tanah, sehingga oleh
pemerintah di klaim tanha tersebut milik Negara. Namun anehnya ketika Negara dan
pemerintah mengaklaim tanah tersebut milik Negara yang pemiliknya di usir dan
di campakkan, tak lama kemudian berdiri-gedung-gedung mewah, mall-mal, dan
perusahaan milik pribadi dari orang-orang yang punya modal. Artinya hukum belum
sepernuhnya memihak kepada rakyat karena hukumnya tidak memenuhi kapasitas
rakyat yang notabenya memakai hukum adat atau hulayat.
Beberapa waktu lalu
ada wacana mengejutkan bahwa beberapa para politikus banyak menguasai lahan
perkebunan dan perusahan seperti yang di kutip di Metrotvnews.com, Bengkulu: bahwa, Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Bengkulu menyatakan, konglomerat dan petinggi partai politik
mengusai tanah di Bengkulu. Mereka mengangkangi lahan hampir seluas setengah
juta hektare. Catatan Walhi, ada 121 pengusaha dan petinggi parpol yang
menguasai tanah di Bengkulu. Mereka punya lebih dari 100 perusahaan
pertambangan dan perkebunan.
Hal itu akan mengambarkan
semangkin berpotensinya konflik agrarian di daerah yang mayoritas masyarakatnya
miskin yang penghidupannya hanya bercocok tanam di sawah. Ini membuktikan bahwa
pemerintah atau penguasa yang berkoalisi dengan pengusaha yang tujuannya tidak
lain adalah untuk merebut hak tanah rakyat dari tangan petani dan pemilik tanah
secara cultural nenek moyang. Namun yang patut di sayangkan kasus ini belum ada
renovasi secara kongkrit dari pemerintah untuk menindak lanjuti konglomerat
yang punya banyak tanah itu, jika hal ini di biarkan dan tidak di ricek maka
aka nada ketidak seimbangan antara masyarakat sipil dengan pihak yang menguasai
tanah, maka di mungkinkan hal ini akan menimbulkan konflik yang parah lagi jika
penguasa dan pengusaha terus menindas masyarakat.
Jadi kapasitas semua hukum di Indonesia masih jauh dari
harapan bangsa yang menigingkan penegakan hukum secara rasiobal tnap memandang
siapa dan dari kalangan mana tanpa memandang sebelah pihak. Terutama dalam
kasus-kasus besar seperti agrarian, yang menyangkut hak hidup masyarakat desa
khusunya yang ada di Negara ini, yang sering menimbulkan perpecahan dan
pertumpahan darah sesama rakyat Indonesia
Oleh: Amin
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi
IAIN Sunan Ampel Surabaya
Oleh: Amin
Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi
IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar