Rabu, 28 Desember 2011

TENTANG JARHUL HADIST

 
Ø  Latar Belakang Masalah
Dalam pembelajaran ilmu hadis terdapat cabang-cabangnya di antaranya, yaitu ilmu Jarh wa ta’dil,pengartian dari ilmu jarh wa ta’dil yaitu “timbangan” bagi
para rawi hadis. Rawi yang “berat” timbangannya di terima riwayatnya, dan rawi yang “ringan” timbangannya di tolak riwayatnya. dengan adanya ilmu jarh wa ta’dil ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima hadisnya dan kita dapat membedakanya dengan periwayat yang tidak dapat diterima hadisnya.oleh karena itu para ulama hadis memperhatikan dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Merekapun ber ijma’ akan validitasnya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini. Imu jarh wa ta’dil ini perlu di pelajari secara seksama. Kalaulah ilmu jarh wa ta’dil ini tidak di pelajari secara seksama, paling tidak akan muncul penilaian bahwa seluruh yang meriwayatkan hadis di nilai sama. Padahal, perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad SAW. Sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan di warnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW. Kemurnian sebuah hadis perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadnya pertikaian di bidang politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadis. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadis yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong,yang mereka buat untuk kepentingan golongan mereka. Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’). Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil,kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis sahih, hasan. Ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
  
Ø Rumusan Masalah
1.    Apakah yang di makusd dengan ilmu Jarh wa ta’dil?
2.    Manfaat apa saja yang di dapat dari ilmu jarh wa ta’dil?
3.    Apa saja yang termsuk ke dalam macam-macam keaiban rawi?
4.    Bagaimana cara mengetahui keadilan dan kecacatan rawi?
5.    Syarat-syarat apa sajakah yang harus di perhatikan untuk mentajrih dan menta’dilkan rawi?
6.     Bagaimanakah susunan lafadh-lafadh untuk menta’dilkandan mentajrihkan rawi?
Ø Tujuan
-       Untuk megetahui pengertian dari ilmu jarh wa ta’dil, serta kita bisa membedakan antara jarh dan ta’dil.
-       Agar kita bisa mengetahui manfaat dari ilmu jarh wa ta’dil.
-       Untuk mengetahui tentang hal-hal yang menjadi keaiban rawi.
-       Untuk mengetahui cara mengadili dan mencacatkan rawi.
-       Mengatahui syarat-syarat untuk mentajrih dan menta’dilkan rawi.
-       Mengetahui susunan lafadh-lafadh untuk mentajrih dan menta’dilkan rawi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Al Jarh wa At-ta’dil
Kalimat ‘al –Jarh wa ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘al-Jarh’ dan ‘al-adl’. Al Jarh menurut bahasa merupakan bentuk masdar, dari kata جَرَحَ – يَجْرَحُ , yang berarti ‘seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang di tandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Secara terminoligi, al-Jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang menyebabkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya bahkan tertolak riwayatnya.[1]
Lafadh jarh menurut muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan kehafalannya. Men-Jarh atau mentajrih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkan.[2]
 Kemudian pengertian al-adl secara etimologi berarti “menyamakan, mengimbangi sesuatu dengan yang lain dan menegakkan keadilan atau berlaku adil, secara terminologi al adl yaitu mensifati si perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya orang memandangnya adil.[3] Rawi yang di katakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraanya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada rawi, hingga apa yang diriwayatkan  dapat diterima disebut menta’dilkan.
Ilmu pengetahuan yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan “Ilmu Jarh wa ta’dil”. Ulama lain mendefinisikan al-jarh dan ta’dil  dalam suatu definisi yaitu
شَأْنِهِمْ مِمّا يُشْنِيْهِمْ أوْ يُزَكّيْهِمْ بِأَلْفأظ مَخْصوْصَةٍ
“ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu”.[4] ilmu al-Jarh wa al ta’dil adalah timbangan bagi para rawi hadist. Rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya, dan rawi yang “ringan” timbangannya di tolak riwayatnya.[5]
B.  Manfaat ilmu Jarh wa ta’dil
Ilmu jarh wa ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat di terima atau harus di tolak sama sekali. Apabila seorang rawi di nilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus di tolak, dan apabila seorang rawi yang di puji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannnya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist terpenuhi. Dengan mengetahui ilmu jarh wa ta’dil juga kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis sahih, hasan, ataupun dhaif, terutama dari segu kualitas rawi, bukan dari matannya.[6]
C. Macam-macam keaiban rawi
1. Bid’ah (melakukan tindaka tercela, di luar ketentuan syari’at).
2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqoh).
3. Ghalath (Banyak kekeliruan dalam periwayatan).               
4. Jahalatul –hal (tidak di kenal identitasnya)
5. Da’wal –inqitha (di duga keras sanadnya tidak bersambung).

D. Cara mengetahui keadilan dan kecacatan rawi
Keadilan rawi dapat di ketahui dari salah satu dari dua ketetapan.
Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia di kenal sebagai seorang yang adil. Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil dikalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’i, Ahmad  bin Hambal, dan sebagainya.
 Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu di tetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
        Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a.       Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu di kaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
b.      Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilinya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat di tempuh melalui dua jalan.
1.      Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah di kenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi di persoalkan. Cukuplah kemasyuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatanya.
2.       Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil , yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang di pegang muhaditsin, sedangkan menurut fuqoha, sekurang-kurangnya harus di tajrih oleh dua orang yang adil.[7]
D.    Syarat-syarat bagi orang yang men ta’dil kan dan men- tajrih
Kita tidak boleh menerima begitu saja peniaian seorang ulama terhadap ulama lainnya,  melainkan harus jelas dulu, sebab-sebab penilaian tersebut.
Beranjak dari sikap selektif terhadap sesuatu, ada beberapa syarat bagi orang yang menta’dilkan(muadil) dan orang-orang yang men-jarah kan (jarih), yaitu:
1.      Berilmu pengetahuan,
2.      Taqwa
3.      Wara’(orang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat)
4.      Jujur
5.      Menjauhi fanatik golongan
6.      Mengetauhi sebab-sebab untuk menta’dilkan dan mentarjihkan.

E.   Susunan lafadh-lafadh menta’dilkan dan mentajrihkan rawi
Lafadh-lafadh yang di gunakan untuk men ta’dil kan dan men tajrih-kan rawi-rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s Shalah dan Imam Nawawy, lafadh-lafadh itu disusun menjadi empat tingkatan, menurut Al hafidh Ad-Dzahabydan Al-Iraqi menjadi 5 tingkatan dabn Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yakni:
Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk menta’dilkan rawi-rawi
Pertama: segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadhyang berbentuk af’alut-tafdil atau ungkapan lain yang , mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya:
اَوْثَقُ النَّاسِ                             Orang yang paling tsiqah.
 أَثْبَتُ النَّاسِ حِفْظًا وَعَدَالَةً           Orang yang paing mantap hafalan dan keadilannya
اِلَيْهِ المُنْتَهَى فِى الثَّبِتِ                 Orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
ثِقَةٌ فَوْقَ الثِّقَة                           Orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah.


Kedua : memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan kedlabitannya, baik sifatnya yang di bubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna, Misalnya:                 
ثبت ثبت                    : orang yang teguh (lagi) teguh,
ثقة ثقة                      : orang yang tsiqah (lagi) tsiqah
 حجّة حجّة                : orang yang ahli ( lagi ) petah lidahnya.

ketiga : menunjukan keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung kuat ingatan. Misalnya :
ثبت                         : orang yang teguh ( hati dan lidahnya ) ,
متقن                         : orang yang meyakinkan ( ilmunya ),
ثقة                           : orang yang tsiqah.

Keempat : menunjukan keadilan dan kedlobhitan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil( tsiqah ) misalnya :
صدوق                     : orang yang sangat sangat jujur
مأمون                      : orang yang dapat memegang amanat
لابأس به                   : orang yang tidak cacat.

Kelima : menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedlobhitan. Misalnya :
محلّه الصّدق               : orangyang berstatus jujur
جَيِّدُ الحَديثِ                : orang yang baik haditsnya
حَسَنُ الحَدِيثِ                : orang yang haditsnya berdekatan dengan hadis-hadist orang lain yang tsiqah
Keenam : menunjuk arti mendekati cacat.seperti sifat sifat tersebut di atas yang di ikuti dengan lafadh”insya allah”atau lafad tersebut ditashghirkan {pengecilan arti] atau lafad itu di kaitkan dengan suatu pengharapan misalnya :
صَدُوقٌ اِنْشَاءَالله                        :orang yang jujur,insya allah
فُلاَنٌ أَرْجُو بِأَنْ لاَبَأْسَ بِهِ             :orang yang diharapkan tsiqah
فُلاَنٌ صُوَيْلِحٌ                            :orang yang sedikit keshalehannya
فُلاَنٌ مَقْبُوْلٌ حَدِيْثُهُ                      :orang yang di terima hadistnya
Para ahli ilmu menggunakan hadist hadist yang di riwayatkan oleh rowi rowi yang di ta’dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah.sedang hadist hadist para rowi yang di ta’dilkan menuruttingkatan kelima dan keenam hanya dapat di tulis,dan baru dapat di pergunakan bila di kuatkan oleh hadist rawi lain.[8]
 Tingkatan dan lafadh-lafadh untuk Mentajrih rawi-rawi.
Pertama : menunjuk kepada kterlaluan si Rawi tentag cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh yang berbentuk af’a-lut-tafdlil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenisnya dengan itu. Misalnya:
اَوْضَعُ النّاسِ                : orang yang paling dusta,
اَكْذَبُ النَّاسِ                 : orang yang paling bohong,
إِلَيْهِ االْمُنْتَقَي فِي الوَضْعِ    : orang yang paling top kebohongannya,

Kedua : menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadh berbentuk sighat muballagah. Misalnya:
كَذَّابٌ                         : Orang yang pembohong,
وَضّاعٌ                       :  Orang yang pendusta,
دَجّالٌ                         : Orang yang penipu,

Ketiga         : menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau lain sebagainya. Misalnya:
فُلاَنٌ مُنّهَمٌ بِالكَذِبِ          : Orang yang dituduh bohong,
اَوْمُنّهِمٌ بِالْوَضْعِ             : Orang yang di tuduh dusta,
فُلاَنٌ فِيْهِ النّظْرُ              : Orang yang perlu di teliti,

Keempat : menunjuk kepada berkesengatan lemahnya, Misalnya:
مُطْرَحُ الحَدِيْثِ              :Orang yang di lempar hadisnya,
فُلاَنٌ ضَعِيْفٌ                : Orang yang lemah,
فُلاَنٌ مَرْدُوْدُ الحَدِيْتِ       : Orang yang di tolak hadisnya,
Kelima : menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
فُلاَنٌ لاَيُحْتَجّ بِهِ             : Orang yang tidak dapat di buat hujjah hadisnya,
فُلاَنٌ بَجْهُوْلٌ                : Orang yang tidak dikenal identitasnya,
فُلاَنٌ مُنْكِرُالحَدِيْثِ: Orang yang tidak mungkar hadisnya,
Keenam  : menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya:
ضُعّفَ حَدِيْثُهُ               : Orang yang didlaifkan hadisnya,
فُلاَنٌ مَقَالٌ فِيْهِ               : Orang yang di perbincangkan,
فُلاَنٌ فِيْهِ خَلْفٌ              : Orang yang di singkiri,
Orang-orang yang di tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat ke empat, hadisnya tidak dapatdi buat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di tajrih menurut tingkatan kelima dan keenam, hadisnya masihdapat di pakai sebagai i’tibar (tempat membandingkan).
Perlu di ketahui dalam masalah yang berkaitan dengan Jarh dan Ta’dil ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. Sebab sudah di sepakati olehkebanyakkan Muhadditsin bahwa para sahabat itu seluruhnya di pandang adil, karena itu semua periwayatannya dapat diterima.[9]        
F.   Tata tertib Ulama jarh wa ta’dil
Ada beberapa point tata tertib yang perlu di perhatikan para ulama al-jarh wa al-ta’dil.di antaranya yang terpenting adalah:
1.    Bersifat obyektif dalam tazkiyah,sehingga ia tidak meninggikan seseorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya.sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
2.    Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan,karna jarh itu di syariatkan lantaran darurat.sementara darurat itu ada batasnya.
3.    Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang di nilai jarh oleh sebagian kritikus,tapi di nilai adil oleh sebagian lainnya.karena sikap yang deikian berarti telah merampas rawi yang bersangkutan dan para muhadditsin mencela sikap yang demikian.
4.    Tidak boleh jarh terhadap rawi  yang tidak perlu di jarh, karena hukumnya di syariatkan.[10]
G.  Syarat-syarat di terimanya al- jarh wa al- ta’dil.
Syarat pertama, al jarh wa ta’dil di ucapkan para ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al- jarh wa al- ta’dil.
Syarat kedua, Jarh tidak dapat di terima kecuali di jelaskan sebab-sebab. Adapunta’dil tidak di syaratkan harus di sertai penjalasan sebab-sebabnya.[11]
H.    Hukum mencecat para Perawi.
Mencecat para perawi masuk golongan upat yang di bolehkan apabila ada padanya sesuatu kemuslihatan.
Al Ghazazali dalam Ihya’ Al Ulumuddin dan An-Nawawi dalam Riyadlusshalihin dan lain-lain berkata : mengupat orang (mencecat keadaanya) baik dia masih hidup ataupun sesudah meninggal di bolehkan karena ada sesuatu yang harus di capai dengan mengupat itu.[12]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Ø  Ilmu Jarh wa ta’dil yaitu ilmu yang membahas ikhwal para perawi dari segi diterimanya atau ditolaknya riwayat mereka.
Ø  Manfaat Ilmu jarh wa ta’dil yaitu untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau ditolak, apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat maka periwayatannya ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil maka periwayatannya di terima.
Ø  Macam-macam keaiban rawi yaitu :
1. Bid’ah (melakukan tindaka tercela, di luar ketentuan syari’at).
2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqoh).
3. Ghalath (Banyak kekeliruan dalam periwayatan).
Ø  Cara mengetahui keadilan dan kecacatan rawi
Keadilan rawi dapat di ketahui dari salah satu dari dua ketetapan.
Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia di kenal sebagai seorang yang adil. Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil dikalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’i, Ahmad  bin Hambal, dan sebagainya.
cara mengetahui kecacatan rawi yaitu dengan cara
a.       Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah di kenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi di persoalkan. Cukuplah kemasyuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
Ø  Syarat untuk menta’dil dan men tajrih rawi yaitu:
1.      Berilmu pengetahuan,
2.      Taqwa
3.      Wara’(orang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat.
Ø  Susunan lafadh-lafadh menta’dilkan dan mentajrihkan rawi
Lafadh-lafadh yang di gunakan untuk men ta’dil kan dan men tajrih-kan rawi-rawi itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s Shalah dan Imam Nawawy, lafadh-lafadh itu disusun menjadi empat tingkatan, menurut Al hafidh Ad-Dzahabydan Al-Iraqi menjadi 5 tingkatan dabn Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan.
Ø  Tata tertib Ulama jarh wa ta’dil
a.Bersifat obyektif dalam tazkiyah,sehingga ia tidak meninggikan seseorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya.sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
b.Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan,karna jarh itu di syariatkan lantaran darurat.sementara darurat itu ada batasnya.
Ø  Hukum mencecat para Perawi.
Mencecat para perawi masuk golongan upat yang di bolehkan apabila ada padanya sesuatu kemuslihatan




DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddiqy, Hasbi. 1993. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Nuruddin. 1994. Ulum Al- Hadis. Bandung: Remaja Rosakarya
Rahman, Fathur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT Alma’arif.
Suyadi, Agus dkk. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadist. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.



[1] M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi,ulumul hadis,(Bandung:Pustaka Setia.2009)hal. 157
[2] Fatchur Rahman,Ikhtisar mustahalul hadis, (Bandung: PT Alma’arif. 1974) hal
[3] TM Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadist.(Jakarta:Bulan Bintang.1993).hal 358
[4] Munzier Suprapta, Ilmu Hadis. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2008). hal 32
[5] Nurudidin “Itr, Ulum Hadis.(bandung:Remaja Rosdakarya.1994).hal 78
[6] M.Agus Solahudin dan Agus Suyuti, op.cit., hal.159
[7] Ibid. hal 159-160
[8] Fathur Rahman.op.cit., hal 313-316
[9] Fathur Rahman. op,cit., hal 313-318                                                   
[10] Nuruddin itr,op,ci.,t hal 80-81
[11] Ibid. Hal. 82-83
[12] TM Hasbi Ash-Shiddiqy. Op,cit. Hal 361

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sample text

Social Icons

Powered By Blogger

Ads 468x60px

Social Icons

Featured Posts