(Refleksi 600 Tahun Wafatnya Ibnu Khaldun)
Oleh :
Amin Yusuf ®
Seorang sejarawan agaung dan
pemikir ulung yang oleh banyak kalangan di anggap sebagai “Bapak Sosiologi”, Dialah
Abdurrahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun yang hidup antara tahun 1332 hingga 1406.
Bulan novermber 2006 lalu
setidaknya ada tiga konfrensi antar bangsa di gelar dalam rangka mempringati
600 tahun wafatnya bapak Sosiologi itu sebagai ilmuan yang terkenal dan besar
di belahan dunia. Konfrensi itu di adakan dalam tiga tahap. Pertama :
pada tanggal 3-5 November 2006 di Madrid, Spanyol, atas kerja sama Islamic
Research In Training Institute Islamic Development Bank (IDB) dengan Universidad
Nacional de Educacion a Distance (UNED) dan pusat kebudayaan setempat. Kedua
; 11 November 2006 di kampus Johann Wolpgang Geothe-Universitate Frankfurt,
Jerman. Di mana penulis berkesempatan hadir. Ketiga, 20-22 november 2006
di The International Institute Of Islamic Thoucht And Civilition (ISTAC)
kuala Lumpur, Malaysia. Acara ini mengangkat tema “Ibn Khaldun’s Legacy And
Is Contemporary Significance.”
A.
Sang fenomenal
Ibnu Khaldun sangat fenomenal
di kalangan para ilmuan sosiolog, baik di barat maupun sosiolog di timur,
dengan kitabnya yang sangat terkenal yaitu; Al-Muqaddimah, kita ini yang
menjadikan ibnu khaldun sangat fenomenal di belahan dunia. Ibnu Khaldun hidup
pada saat imperium islam bagian barat
(termasuk aprika utara) di ambang kehancuran. Andalusia terpecah belah menjadi
kerajaan-kerajaan kecil. Kaum Murabitun (Almuravid)
dan Muwahhdidun (al-Mohad) saling rebut wilayah dan pengaruh.
Pada saat yang sama, kaum
Kristen spanyol tengah menkonsolidasi kekuatan dan strategi untuk meluncurkan
serangan besar-besaran demi merebut kembali semua daerah-yang diduki oleh kaum
muslimin. Pristiwa kalam yang dinamakan Rekonquista. Bermula dengan Toledo
(1085), Kordoba (1236), Seville (1248), dan trakhir Granada (1492), satu
persatu wilayah islam jatuh ketangan orang-orang Kristen. Kondisi social
politik yang tak menentu itu tentu saja banyak mempengaruhi perjalanan karir
maupun pemikiran Ibn Khaldun.
Barangkali karna kesibukannya
sebagai pejabat Negara dan keterlibatanya dalam politik, Ibn Khaldun tidak
banyak menghasilkan karya tulis. Hanya tercatat beberapa buku kecil seputar
logika dan filsafat (lubab al-muhashshal), tentang tasawuf (Syifa’ As-Sa’il
Li-Tahdzibal-Masa’il), dan sebuah Otobiografi (at-Ta’rif), namun. Ia
meninggalkan sebuah karya raksasa berjudul tarjuman Al-‘Ibar Wa Diwan
Al-Mubtada’ Waa Al-Khabar Fi Ayyam Al-Arab Wa Al-Barbar Wa Man Asharamun Min
Dzawis Shultan Al-Akbar. Bagaian pendahuluan dari kitab ini lah yang
melejitkan namanya ke seantero jagad tak aneh sebab Muqaddimahnya itu tak
ubahnya bagaikan kapsul yang memuat ektrak prinsip-prinsip yang bekerja di
balik aneka manifestasi ilmu pengetahuan, pencapaian, dan pengalaman masyarakat
dari masa ke masa.
Sebagaimana di ungkapkan pakar
sejarah Arnold Toynbee: “in the prolegomena (muqaddimah) to his uviversal
history he has conceived and formulated a philosofhy of history which is
undoubtedly the greatest work of its kind that has ever yet ben created by any
mind in any time or place. “ (lihat: A study of history: the growths of cilizations,
new york: oxpord university press, 1962, 3;321-8)
Karya yang di tulis Ibn Khaldun
dalam penajara itu telah di terjemahkan ke berbagai bahasa prancis (oleh, Wiiliam
De Sale, Prolegomena Historiques D’ibn Khaldun, Paris 1862-8), Jerman, (oleh ;
Annemarie schimmel, Ibn khaldun: Ausgewaehlte Abschnitte Aus Der Muqadimah
Tuebingen 1951), dan Inggris, (oleh: Franz Rosenthal, the Muqaddimah: an Introduction
To History By Ibn Khaldun, 3 jilid, London 1958).
B.
Kahancuran dan
kejayaan
Ada bebrapa pandangan ibn Khaldun
yang masih sangat relevan kini untuk jadi bahan renungan kita yang sedang
berusaha bangkit meraih kejayaan. Masyarakat dan Negara yang kuat adalah
masyarakat dan Negara yang padanya tedapat tiga perkara. Pertama,
solidaritas kebangsaan yang kokoh, dimana sikap dan prilaku yang mendzalimi,
membenci dan menjatuhkan satu sama lain bertukar menjadi saling memberi, saling
menghargai, dan saling melindungi. Ibn Khaldun menyebutkan Ashabiyyah atau
Group Feeling meminjam terjemah Rosenthal.
Kedua ,
kuantitas dan kualitas sumber daya manusianya. Rakyat yang setia kepada Negara
akan bertambah makna strategis maupun dampak positifnya secara ekonomis dan
sebagainya jika setiap individunya unggun dan mumpuni, sebalkinya, keunggulan
sumber daya manusia semata tidak akan banyak berarti jika suatu Negara di landa
krisis demokrafis yang mengantarkannya kepada kepunahan.
Ketiga,
kebangkitan suatu bangsa dan kejayaan Negara berawal dari dan hanya akan
lanngeng apabila orang-orangnya selalu optimis dan ma uterus-menerus bekerja
keras. Kesuksesan tidak di capai sekonyong-konyong, “Laa Yashulu Lahum
Zhafarun Bil Munajahah,” ujar Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya, iii/49.
Ibn Khaldun menganalogikan
proses kelahiran dan kehancuran suatu Negara dengan kehidupan manusia. Ada
tahap-tahap yang mesti di lalui, masing-masing dengan pasang surut dan pahi
manisnya. Menurut ibn khaldun yang memandang proses serajarah dalam karangka
siklus (keimbang proses linier dan dialektika), runtunya suatu imperium bisanya
di awali dengan kedzaliman pemerintah yang tidak lagi mempedulikan hak dan
kesejahtraan rakyat (iii/43) serta sikap sewenang-wenang terhadap rakyat
(iii/22), akibatnya timbul rasa ketidakpuasan, kebencian, ketidakpedulian
rakyat terhdap hukum dan aturan yang ada. Situasi ini akan semangkin parah bila
kemudia terjadi perpecahan di kalangan elit penguasa yang kerap berbuntut
desentegrasi dan munculnya petty leaders (pemimpin yang picik) (iii/54)
Yang paling menarik adalah
observasi ibn khaldun pada pasal 11 bahwa ketika Negara sudah mencapai puncak
kejayaan, kemakmuran, dan kedamaian, maka pemerintah maupun rakyatnya cendrung
menjadi tamak dan melampaui batas dalam menikmati apa yang mereka miliki dan
kuasai. Itulah petanda kejatuhan mereka sudah dekat.
Namun kejatuhan suatu bangsa
hamper selalu di dahului atau di ikuti oleh kenaiakan bangsa lain yang mewarisi
dan meneruskan tradisi maupun pradaban sebelumnya, sebagai penganti yang belum
semaju dan secanggih pendahuluanya, bangsa yang baru muncul ini, cendrung
meniru bangsa yang pernah menjajahnya hamper dalam segala hal, dari cara
berfikir dan bertutur hingga ketingkah laku dan soal busana, proses ini bisa
berlangsung tiga sampai empat generasi.
Bangsa yang di kalahkan
cendrung meniru bangsa yang menaklukannya karena mengira hanya dengan begitu
mereka menang kelak. Jika kejayaan bangsa hanya bisa bertahan empat atau lima
generasi, hal ini di karenakan generasi pertama adalah plopor, generasi kedua
adalah pengikit, generasi ketiga adalah tradisition keepers (penjaga
tradisi), sedankan tradisi ke empat adalah tradition lossers (berpaling
dari tradisi).
Berbeda denga para penulis
sejarah sebelumnya, ibn khaldun dalam analisinya berusaha objektif, pendekatan
yang di pakai tidak ormatif, akan tetapi empiris positivistic. Uraiannya
berpijak pada das sein dan bukan das sollen, pada apa yang
sesungguhnya terjadi bukan apa yang seharusnya terjadi.
Hematnya kejayaan suatu bangsa
lebih di tentukan oleh apakah dan sejauhmana mereka secara kolektif berhasil
memenej potensi-potensi yang ada padanya semaksimal dan optimal mungkin, yang
demikian adalah ketetapan tuhan (sunnatullah) yang berlaku universal.
Mungkinkah bangsa kita termasuk yang di prediksikan oleh ibn khaldun[1] ?
® Mahasiswa Sosiologi Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya
[1]Tulisan Ini Di Ambil Dan Di Salin Dari Tulisannya
Samsuddin Arif, (yang sedang menyelesaikan studi doktornya di orientaslisches
seminar Frankfrurt, Jerman) Dari Kolom Opini
Majalah Hidayatullah, Yang Terbit Pada Bulan Desember 2006, Dalam
Tulisan Ini Ada Beberapa Redaksinya Yang Di Tambah dengan memakai kata penulis
sendir (Amin) tanpa mengurangi Isi dari
tulisan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar