Kamis, 03 Mei 2012

HARI BURUH (MAY DAY) DAN KESADARAN KOLEKTIF


KEJAYAAN BURUH DAN KESADARAN KOLEKTIF

Oleh : Amin Yusuf 

Bulan Mei adalah bulan kebangkitan para buruh (MAY DAY) di seluruh dunia termasuk Indonesia. Kebangkita para buruh terimplementasi ke dalam suatu peradaban besar dan sejarah dialektika antara pemilik modal dalam istilah ilmu sosiologi di kaum pemilik modal di artikan sebagai masyarakat borjuis, dengan para buruh . istilah lain di namakan masyarakat proletar. Istilah ini meminjam dari perkataan seorang tokoh sosiolog Jerman yaitu Karl Marx yang sudah terkenal kemana-mana namanya den teorinya sudah terakui di seluruh dunia.

Dalam hubungan industrial yang menganut system kapitalisme, seperti halnya sitem perburuhan yang ada di negreri ini, kaum buruh sering di- set up sebagai bagian dari sitem produksi dengan metapora mesin sehingga melahirkan persepsi bahwa perusahaan adalah “mesin pencetak uang” dengan bahan bakar “keringat buruh” (abdul djalil:2008)
Buruh sebagai bagian terpenting dari system kapitalisme (bagai pemilik modal) tidak lepas perannya sebagai mesin pencetak uang bagi kapitalisme memang banyak mengalami kontrovesi. Saat buruh di ibaratkan sebagai hariau yang selalu membikin keonaran dan penyebab konflik di antara para pengusaha, persepsi ini yang harus di reduksi kembali oleh para kapitalisme. Mereka mempekerjakan para buruh dengan keringat yang full time dari pagi sampai sore, hanya di beri keuntungan yang secekil mungkin. Nasib buruh saat ini sangat memperihatinkan mengingat banyaknya masalah konflik para pengusaha dan buruh yang jarang ada solusi yang rasional (rasional solution). System perburuhan yang anaut dengan nalar kapitalisme di Indonesia layaknya seperti anak dan orang tuanya, anak bekerja untuk orang tuanya tanpa di bayarpun tidak ada masalah bahkan si anak rela demi orang tua. Namun dalam system perburuhan jika, paradigam seperti ini di gunakan dalam system kapitalisme. Maka buruh tidak akan bias hidup Karen mereka di anngap sebagai budak, bukan sebagai pembantu yang masih bias di gaji.
Ketidak sesuaian antara upah dan keringat yang di keluarkan maka dari satu masa kemasa yang selanjutnya system perburuhan di dunia tidak pernah mengalami kejayaan sseorang burh dalam menuntut upah yang layak dan kerja yang relative. Yang ada hari ini dan histori masa lampau masih banyak kesenjangan dalam system perburuhan teruatama dalam system upah dan kerja yang di produksi oleh manusia dalam membantu para pemilik modal.
Sunnguh ironis sekali nasib rakyat proletar (buruh) yang mendambakan kejayaan dari masa kemasa. Hal ini apakah para pemilik modal tidak sadar dengan nasib manusianya yang terlantar dan mengemis demi menghidupkan keluarga. Atau memang sudah tertutup matanya dalam melihat fenomena deskriminatif dalam suatu masyarakat. Mampukan pemerintah dan pihak majikan (pemilik modal) berlaku adil dan sadar apa yang telah mereka perbuat kepada rakyat kecil.
Retorika penguasa dan pengusaha
Pemerintah dan kapitalisme (pemilik modal) dalam system indutrialisasi atau perburuhan memang mempunyai iktan yang erat. Di samping pemerintah sebagai actor penegak hukum yang bisa di kendalikan oleh pengusaha dalam upaya mengenaralisasikan system perburuahan, maka pemerintah pun secara tidak sadar telah terhegemoi oleh actor sampingan (pengusaha) yang telah mensetir dan meremot kerjanya dan sistemnya dalam upaya menangani perjalanan ekonomi para kapitalisme. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa pemerintah sebagai actor terpenting dalam sebuah Negara, memang tidak punya visi yang jelas untuk suatu perubahan. Oleh karena itu, di dalam hubungan industrial sering terjadi tekan menekan dan tarik menarik kepentingan, antara kelompok-kelompok yang ada. Penguasa punya kepentingan pribadi dalam mempertahankan system produkdi dan industrial yang bersifat material dan pragmatis. Sebaliknya pengusaha juga punya ke pentingan yang tidak jauh beda dengan sekutunya yaitu penguasa. Sehingga keduanya saling tekan menekan dan tarik menarik. Sehingga kedua actor ini akan terus berusaha membuat tekanan yang semangkin besar pada kaum buruh. Dengan demikian lahirlah antara kepantingan satu dengan yang lainnya. Sebagaimana yang tercatat dalam uud no 13  tahun 2003 adalah bagian dari scenario besar pemerintah untuk menata dan menegosiasikan kepentingan bersama, antara pengusaha, buruh, dan pemerintah. Sebagai mana di atas jika pengusaha berkepantingan terhadap pengembangan modal, buruh berkepentingan menaikkan pendapatan meski dengan cara yang lebih agresif, seperti demo, aksi turun jalan dan memblokade, mogok kerja dll. Maka tak lupa pula pemerintah sebagaimana yang di katakana abdul jalil. Pemerintah berkepentingan mengamankan makro ekonominya. Sebab tanpa kondisi yang kondusif, makro ekonomi dalam suatu Negara akan terguncang.
Kesadaran kolektif
Menantikan sebauh kejayaan dalam dimensi waktu yang sukar ini, tentunya bukan masalah yang sangat sederhana. Namun, tidak ada yang tak mungkin jika semua system kehidupan yang beraturan ini mempunyai kesadaran yang kolektif antara satu dengan lainnya. Yang terjadi bukanlah hal yang harus di lalui, namun di jadikan sebuah evaluasi besar untuk menentukan masa yang akan di jalankan dalam sebuah perjalanan ekonomi dan kehidupan social masyarakat. Kesadaran yang di bentuk atas dasar kenyataan empiris di lapangan bahwa: terjadinya konflik di berbagai daerah baik yang di pedesaan yang berakar dari konflik agrarian yang meliputi pertanian, perkebunan.
Fenomena ini tidak bisa di lepaskan dari akar masalah industrialisasi para pemilik modal yang dengan se-enaknya menjustifikasi dalam urusan sengketa. Seperti yang terjadi beberapa bulan yang lalu antara aparat penegak hokum (polisi) dan masyarakat sipil yang terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) sehingga melahirkan konflik vertical. Dan juga konflik agrarian yang terjadi di lampung juga tidak terlepas dari pihak pengusaha kelapa sawet yang mengambil alih rumah dan tanah adat peninngalan masyarakat, sehinnga terjadi pembantaian yang di lakukan oleh aparat kepada masyarat setempat sehingga terjadi tragedy berdarah dan bahkan ada yang meninggal akibat oleh aparat yang sewenang-wenang mengadili. Tentunya kejadian yang fatal ini tidak di inginkan oleh bangsa yang berlandaskan hokum pancasila, yang berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, dan menghapus deksriminasi menagakkan supremasi hokum yang tidak memihak kepada siapun.
Kesadaran dalam upaya menghapus deskriminasi di bumi Indonesia ini tentunya harus di mulai dari yang paling atas (pemerintah,) yang secara organisasi mereka pemerintah menjadi contoh utama dalam upaya menkonsistenkan nalar kesadaran manusia demi tercapainya system yang bermartabat dan ber-keadilan.
Tak terkecuali kesadaran akan sebuah pencerahan juga harus datang dari orang kedua yaitu (pengusaha) untuk menjadikan sebuah menajemen perburuhan yang konsisten pada aturan Negara yang tidak bisa sewenang-nya mengais keringat buruh untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin, dan mengeluarkan (upah) kepada para  para produksi (buruh) secekil-kecilnya. Yang  tidak ada equlibirium (keseimbangan) antara upah dan keringat yang di peras. Dengan demikian pengusaha harus sadar dan bisa mempertimbangan dengan keadaan mereka (buruh). Begitupun dengan para buruh-bahwa upah menjadi kendala utama bagu buruh. Berabad-abad lamanya permasalah yang ada pada buruh adalah upah yang minimum yang tidak sesuai denga standar apa yang di kerjakan oleh para buruh dalam proses produksi. Sehingga buruh sering mengalamai overdosis yang berakibatkan pada mogok kerja, aksi turun jalan, memblokade jalan. yang akan semangkin menimbulkan kerasan dan berakibat pada system perekonomian pula. Dengan demikian pemenuhan upah buruh yang sesuai dengan keringatnya yang di keluarkan, akan semangkin menambah semangat kerja, dan para buruh akan menemukan kejayaannya yang selama ini di damba-dambakan.

  

Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi IAIN Surabaya
Pengiat kajian masalah Social dan Buruh di
 Front Mahasiswa Nasional (FMN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sample text

Social Icons

Powered By Blogger

Ads 468x60px

Social Icons

Featured Posts