KEJAYAAN BURUH DAN KESADARAN KOLEKTIF
Oleh : Amin Yusuf
Bulan Mei adalah
bulan kebangkitan para buruh (MAY DAY) di seluruh dunia termasuk Indonesia. Kebangkita para
buruh terimplementasi ke dalam suatu peradaban besar dan sejarah dialektika
antara pemilik modal dalam istilah ilmu sosiologi di kaum pemilik modal di
artikan sebagai masyarakat borjuis, dengan para buruh . istilah lain di namakan
masyarakat proletar. Istilah ini meminjam dari perkataan seorang tokoh sosiolog
Jerman yaitu Karl Marx yang sudah terkenal kemana-mana namanya den teorinya
sudah terakui di seluruh dunia.
Dalam hubungan
industrial yang menganut system kapitalisme, seperti halnya sitem perburuhan
yang ada di negreri ini, kaum buruh sering di- set up sebagai bagian dari sitem produksi dengan metapora mesin
sehingga melahirkan persepsi bahwa perusahaan adalah “mesin pencetak uang”
dengan bahan bakar “keringat buruh” (abdul djalil:2008)
Buruh sebagai
bagian terpenting dari system kapitalisme (bagai pemilik modal) tidak lepas
perannya sebagai mesin pencetak uang bagi kapitalisme memang banyak mengalami
kontrovesi. Saat buruh di ibaratkan sebagai hariau yang selalu membikin
keonaran dan penyebab konflik di antara para pengusaha, persepsi ini yang harus
di reduksi kembali oleh para kapitalisme. Mereka mempekerjakan para buruh
dengan keringat yang full time dari pagi sampai sore, hanya di beri keuntungan
yang secekil mungkin. Nasib buruh saat ini sangat memperihatinkan mengingat
banyaknya masalah konflik para pengusaha dan buruh yang jarang ada solusi yang
rasional (rasional solution). System perburuhan yang anaut dengan nalar
kapitalisme di Indonesia layaknya seperti anak dan orang tuanya, anak bekerja
untuk orang tuanya tanpa di bayarpun tidak ada masalah bahkan si anak rela demi
orang tua. Namun dalam system perburuhan jika, paradigam seperti ini di gunakan
dalam system kapitalisme. Maka buruh tidak akan bias hidup Karen mereka di
anngap sebagai budak, bukan sebagai pembantu yang masih bias di gaji.
Ketidak sesuaian
antara upah dan keringat yang di keluarkan maka dari satu masa kemasa yang
selanjutnya system perburuhan di dunia tidak pernah mengalami kejayaan sseorang
burh dalam menuntut upah yang layak dan kerja yang relative. Yang ada hari ini
dan histori masa lampau masih banyak kesenjangan dalam system perburuhan
teruatama dalam system upah dan kerja yang di produksi oleh manusia dalam
membantu para pemilik modal.
Sunnguh ironis
sekali nasib rakyat proletar (buruh) yang mendambakan kejayaan dari masa
kemasa. Hal ini apakah para pemilik modal tidak sadar dengan nasib manusianya
yang terlantar dan mengemis demi menghidupkan keluarga. Atau memang sudah
tertutup matanya dalam melihat fenomena deskriminatif dalam suatu masyarakat.
Mampukan pemerintah dan pihak majikan (pemilik modal) berlaku adil dan sadar
apa yang telah mereka perbuat kepada rakyat kecil.
Retorika penguasa dan pengusaha
Pemerintah dan
kapitalisme (pemilik modal) dalam system indutrialisasi atau perburuhan memang
mempunyai iktan yang erat. Di samping pemerintah sebagai actor penegak hukum
yang bisa di kendalikan oleh pengusaha dalam upaya mengenaralisasikan system
perburuahan, maka pemerintah pun secara tidak sadar telah terhegemoi oleh actor
sampingan (pengusaha) yang telah mensetir dan meremot kerjanya dan sistemnya
dalam upaya menangani perjalanan ekonomi para kapitalisme. Kenyataan di atas
menunjukkan bahwa pemerintah sebagai actor terpenting dalam sebuah Negara,
memang tidak punya visi yang jelas untuk suatu perubahan. Oleh karena itu, di
dalam hubungan industrial sering terjadi tekan menekan dan tarik menarik
kepentingan, antara kelompok-kelompok yang ada. Penguasa punya kepentingan
pribadi dalam mempertahankan system produkdi dan industrial yang bersifat
material dan pragmatis. Sebaliknya pengusaha juga punya ke pentingan yang tidak
jauh beda dengan sekutunya yaitu penguasa. Sehingga keduanya saling tekan
menekan dan tarik menarik. Sehingga kedua actor ini akan terus berusaha membuat
tekanan yang semangkin besar pada kaum buruh. Dengan demikian lahirlah antara
kepantingan satu dengan yang lainnya. Sebagaimana yang tercatat dalam uud no
13 tahun 2003 adalah bagian dari
scenario besar pemerintah untuk menata dan menegosiasikan kepentingan bersama,
antara pengusaha, buruh, dan pemerintah. Sebagai mana di atas jika pengusaha
berkepantingan terhadap pengembangan modal, buruh berkepentingan menaikkan
pendapatan meski dengan cara yang lebih agresif, seperti demo, aksi turun jalan
dan memblokade, mogok kerja dll. Maka tak lupa pula pemerintah sebagaimana yang
di katakana abdul jalil. Pemerintah berkepentingan mengamankan makro
ekonominya. Sebab tanpa kondisi yang kondusif, makro ekonomi dalam suatu Negara
akan terguncang.
Kesadaran kolektif
Menantikan
sebauh kejayaan dalam dimensi waktu yang sukar ini, tentunya bukan masalah yang
sangat sederhana. Namun, tidak ada yang tak mungkin jika semua system kehidupan
yang beraturan ini mempunyai kesadaran yang kolektif antara satu dengan lainnya.
Yang terjadi bukanlah hal yang harus di lalui, namun di jadikan sebuah evaluasi
besar untuk menentukan masa yang akan di jalankan dalam sebuah perjalanan
ekonomi dan kehidupan social masyarakat. Kesadaran yang di bentuk atas dasar
kenyataan empiris di lapangan bahwa: terjadinya konflik di berbagai daerah baik
yang di pedesaan yang berakar dari konflik agrarian yang meliputi pertanian,
perkebunan.
Fenomena ini
tidak bisa di lepaskan dari akar masalah industrialisasi para pemilik modal
yang dengan se-enaknya menjustifikasi dalam urusan sengketa. Seperti yang
terjadi beberapa bulan yang lalu antara aparat penegak hokum (polisi) dan
masyarakat sipil yang terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) sehingga
melahirkan konflik vertical. Dan juga konflik agrarian yang terjadi di lampung
juga tidak terlepas dari pihak pengusaha kelapa sawet yang mengambil alih rumah
dan tanah adat peninngalan masyarakat, sehinnga terjadi pembantaian yang di
lakukan oleh aparat kepada masyarat setempat sehingga terjadi tragedy berdarah
dan bahkan ada yang meninggal akibat oleh aparat yang sewenang-wenang
mengadili. Tentunya kejadian yang fatal ini tidak di inginkan oleh bangsa yang
berlandaskan hokum pancasila, yang berkeadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan menghapus deksriminasi menagakkan supremasi hokum yang tidak
memihak kepada siapun.
Kesadaran dalam
upaya menghapus deskriminasi di bumi Indonesia ini tentunya harus di mulai dari
yang paling atas (pemerintah,) yang secara organisasi mereka pemerintah menjadi
contoh utama dalam upaya menkonsistenkan nalar kesadaran manusia demi
tercapainya system yang bermartabat dan ber-keadilan.
Tak terkecuali
kesadaran akan sebuah pencerahan juga harus datang dari orang kedua yaitu
(pengusaha) untuk menjadikan sebuah menajemen perburuhan yang konsisten pada
aturan Negara yang tidak bisa sewenang-nya mengais keringat buruh untuk
mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin, dan mengeluarkan (upah) kepada
para para produksi (buruh) secekil-kecilnya.
Yang tidak ada equlibirium (keseimbangan)
antara upah dan keringat yang di peras. Dengan demikian pengusaha harus sadar
dan bisa mempertimbangan dengan keadaan mereka (buruh). Begitupun dengan para
buruh-bahwa upah menjadi kendala utama bagu buruh. Berabad-abad lamanya
permasalah yang ada pada buruh adalah upah yang minimum yang tidak sesuai denga
standar apa yang di kerjakan oleh para buruh dalam proses produksi. Sehingga
buruh sering mengalamai overdosis yang berakibatkan pada mogok kerja, aksi
turun jalan, memblokade jalan. yang akan semangkin menimbulkan kerasan dan
berakibat pada system perekonomian pula. Dengan demikian pemenuhan upah buruh
yang sesuai dengan keringatnya yang di keluarkan, akan semangkin menambah
semangat kerja, dan para buruh akan menemukan kejayaannya yang selama ini di
damba-dambakan.
Penulis adalah
Mahasiswa Sosiologi IAIN Surabaya
Pengiat kajian
masalah Social dan Buruh di
Front Mahasiswa Nasional (FMN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar